Pelukan Rindu

Pelukan Rindu

Masih ada kemelut hati selarut ini, aku pikir dengan detakan jam menuju pukul dua belas malam ini akan mampu melunturkan segala apa apa yang aku rasakan semenjak pagi tadi. Aku seduh cokelat panas supaya menenangkan hati, nyatanya tak mampu jua melerai hati dan pikiran yang saling adu persepsi. Aku bingung sendiri, manakah yang harus aku jalani?

“Ren, kamu kenapa sih? Gelisah banget gitu.”
“Aku? Emm...nggak kenapa kenapa kok.”
“Nggak kenapa kenapa tapi mondar mandir terus. Tumbenan sih hari ini kayak gitu. Padahal kan kamu biasanya duduk manis baca novel.”
“Pengen cari suasana beda aja.”
“Cari suasana beda kok mukanya suntuk gitu.”

Aku masih saja melangkahkan kaki, melaju tak henti namun tanpa tujuan. Tak peduli dengan ocehan Gina. Aku menengok sesekali pada jalanan setapak menuju kamar nomor 108 itu. Pantai di hadapanku masih juga sama deru ombaknya pun deru di jantungku yang makin lama makin risau. Hanya lampu beberapa saja yang masih menyala, lautan hanya terlihat legam dimakan malam. Pintu kamar itu belum terbuka juga tapi masih saja ada rasa bersalah yang tak kuduga-duga. Aku ingat betul bagaimana pertengkaran itu terjadi. Pertengkaran hebat yang terjadi setahun lalu. Kini dia kembali dengan kalimat yang mengoyak hatiku.

“Aku sayang kamu Ren.”
“Sayang aku? Kamu ngomong apa’an sih?”
“Ya mungkin ini terdengar aneh atau mengherankan bagimu tapi jujur aku memang sayang kamu.”

Aku hanya diam mendengar pengakuan Yuka senja itu, aku hanya bungkam saja. Namun dalam hati aku keluh, mengapa ia begitu memerlakukan aku seperti itu. Setelah sekian lama aku menelantarkan apa apa yang pernah ia rasa, mencaci maki apa apa yang ia lakukan. Aku tak gentar memertahankan hasutan Guntur. Memertahankan rasa sayangku pada lelaki yang kini mencabik-cabik hatiku.

Perenungan malam ini belum berakhir. Tiba-tiba ada sesak yang menyeruak ketika tak nampak benda langit yang muncul di angkasa. Aku masih menyangkali, kadang merutuki mengapa aku bertemu dengan Yuka kembali pada liburan tahun baru kali ini. Apalagi kalimat sayang yang ia lontarkan sungguh membuatku tak mengerti, masih saja ada sudi baginya untuk mengenalku. Sudah kusesali berkali-kali namun berhasil aku ingkari sendiri.

Pesta kembang api akan dimulai beberapa menit lagi dan aku masih jalan jalan sendiri di pinggiran pantai dengan bagian paling sepi. Jejak kakiku di pasir pantai ini tak terelak lagi. Aku ingin pergi saja menyongsong lautan, tenggelam disana bersama apa apa yang kurasa. Aku tak mampu menampik sosok Yuka lagi.

“Hey, kamu ngapain? Ren kembali.”

Yang kudengar hanya deburan ombak.

“Kamu mau kemana Ren, berbalik. Kamu mau renang malam-malam gini di lautan?”

Kini yang kulihat hanya buih ombak

“Ren, Karen....”

Semakin sesak saja dadaku, semakin pening rasanya kepalaku, ingin segera menjemput maut. Ada percikan air laut yang singgah di lidahku

“Karen....”

Suara itu semakin dekat, aku merasakan ada tubuh yang tak berjarak lagi di punggungku.

“Kamu mau ngapain sih?”

Aku mendengar sedikit isak, sedang badanku telah kuyup diguyur air laut.

“Apa yang kamu pikirkan sampai menantang lautan malam-malam begini.”

Aku membalikkan tubuhku, wajah Yuka kini yang kulihat pertama kali ketika aku tersadar dari gentingnya hati. Ketika pesta kembang api telah menggelegar di sudut sudut pantai ini. Aku menghambur di peluknya, aku tak mampu lagi menahan diri. Jikalau hatiku pun teramat sangat merindukannya.

Kemudian akulah yang paling ingkar
Menyangkali debar
Debar rindu yang tak karuan
Menampari diri tanpa enggan
Mungkin tak ada yang tak wajar
Karena aroma kasih pun telah sebar
Aku biarkan kau merengkuhku kembali
Pelukan memang menjadi pengobat angkara paling dengki

RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Memasang Tanda Admin di Kolom Komentar Blog

Senasib Sepenanggungan

Kelakar Trotoar