Kepulangan Kalista

Kepulangan Kalista

Ada yang mengetuk pintu tiap malamnya, tiap kesendirian menghantarkan selimut dingin tanpa pernah kupinta. Sedang lamunan merongrong di pikiranku, aku pikir siapa saja yang mengetuk pintu itu adalah apa apa yang mampu menghempaskan kesendirianku punah. Nyatanya ia yang membuatku semakin lekat dengan kesunyian. Aku menyebutnya kerinduan. Ya, bukan sekadar nyanyian dalam lirik-lirik lagu masa kini yang kurasa sungguh tak patut dibanggakan. Aku tidak setenar lirik-lirik itu memang, tapi aku tak peduli. Aku masih berontak dengan lirik-lirik tak menarik untuk dilirik. Barangkali lantunan nada-nada, semisal dawai gitar atau tuts tuts piano yang mengiring lirik-lirik tak penting itu, mampu membuat berontakku terenyuh.

“Ren, sudah kau siapkan semua perlengkapan kita besok?”
“Sudah kak, ini aku masih benahin proposal yang harus kita kumpulkan.”
“Baiklah, kalau begitu aku mandi dulu ya. Sudah gerah, aku mau keluar ke cafe selasai mandi. Kau mau ikut?”
“Ah, tak usah kak. Aku disini sajalah.”
“Tak makan kau?”
“Nanti aku goreng telur saja.”
“Kau itu senang sekali mengkonsumsi telur begitu. Sekali-sekali makanlah kau yang enak-enak. Aku bungkuskan nanti ya.”
“Tak perlu kak.”

Setelah itu hanya senyuman yang tersungging di bibirku ketika Kalista pergi meninggalkanku di kamar yang kita sewa bersama semenjak kita dipertemukan oleh tugas perkuliahan yang sama. Kalista seorang gadis keturunan Batak, marganya Sinaga. Dia anak orang kaya yang gemar sekali pesta pora, pernah sekali aku diajak bergabung pada pestanya di sebuah club yang hiruk pikuknya tak wajar menurutku. Aku bukan gadis desa yang kuper atau gaptek. Hanya saja aku lebih suka dengan tempat-tempat yang tenang tanpa asap rokok. Namun meski begitu dia seorang yang senang menolong, aku salut padanya karena mampu menjaga diri walau kehidupan malamnya sungguh tak pernah absen setiap harinya. Aku pikir uangnya yang berjuta-juta itu turut andil dalam misi penjagaan dirinya.

Kadang aku berpikir, apakah Kalista tak pernah diketuk kesepian di hati? Karena setiap hari ada saja kawan-kawannya yang silih berganti menemuinya dengan berbagai urusan. Setiap waktu tertawa tebahak-bahak, menertawakan apa-apa yang terkadang tak perlu juga untuk ditertawakan. Aku pikir Kalista tak sesunyi aku atau tak semerana aku yang seringkali melamun di balik jendela yang basah oleh rinai hujan.

****

“Ren, Rena sayang...Kamu tahu aku bahagia dengan dunia ini, tapi mengapa ia menertawakan aku dengan begitu sinis?”

Aku sempoyongan membopong tubuh Kalista yang limbung masuk ke dalam kamar. Mataku masih terbeban kantuk pula karena tertidur di tumpukan kertas yang harus kubereskan segera.

“Kau, ya Ren kau. Aku suka kamu, pendiam, tak banyak bicara. Tak seperti kawan-kawan aku itu.”

Aku melepas heelsnya, merebahkan tubuhnya yang semolek biola di ranjang. Bajunya masih bergemerlapan meski hanya lampu disamping ranjangnya saja yang menyala. Aku berusaha melepas ikatan di rambutnya yang ikal. Namun dengan keaadaan yang masih mabuk Kalista mampu menepis tanganku dan menggamit leherku dengan lengannya.

“Tolong aku Ren, aku muak dengan kehidupan. Tapi aku malas mati, aku belum siap mati, ha ha ha ha ha ha.”

Aroma beer. Kemudian ada segelegar guntur.

“Ha ha ha ha nampaknya semesta pun murka dengan kehidupan Ren ha ha ha.”

Aku masih tak mengerti dengan apa yang Kalista bicarakan, aku lepaskan perlahan gamitan lengannya yang mulai mengendur. Aku bergegas memberinya secangkir teh hangat yang mungkin akan menenangkan pikirannya.

“Kau baik Ren, aku tak habis pikir kenapa kau mampu bertahan sekamar denganku yang berengsek begini.”

Aku melihat Kalista telah lebih tenang, ia bersandar di tumpukan bantal. Aku membalurinya dengan minyak kayu putih, agar lebih hangat. Aku mengerti jika apa yang aku lakukan itu tak mampu menghangatkan dingin hatinya yang mulai membeku. Kalista yang suka cita berfoya-foya, malam ini nampaknya telah ditampar oleh batu batu es club malam. Aku mampu bertahan dengan Kalista karena ia tak pernah sekalipun mengusik kehidupanku, ia tak pernah menanyakan aku lebih senang diam atau memengaruhiku untuk terjerumus dalam dunianya. Aku paham jika itu semua bukan semata ia cuek saja, aku menganggap ia adalah orang tercepat yang mampu mengerti diamnya diriku. Dia mengerti kapan diamku adalah melamun, merenung, atau berpikir. Kalista yang cantik, apakah ada yang telah membuatmu sebegitu pelik?

“Ah, ternyata aku rindu kampung halaman Ren. Tiap kali kutengguk minuman itu, hatiku diketuk ketuk rasanya. Mungkin harusnya aku pulang sekarang.”

****

Kalista, aku tak menyangka jika hatimu pun nyatanya diketuk pula oleh kerinduan. Kerinduan akan kampung halaman, aku kira hanya aku yang paling sering diketuk oleh rindu yang kadang sangat kejam mendobrak. Pun kau sering dicekik oleh kenangan yang hampa. Aku sangat menyesal saat ini karena ketika bersamamu aku hanya senang menimang bungkam. Tak mau bertanya-tanya tentang dirimu. Namun jika aku boleh jujur Kalista, aku selalu memerhatikanmu. Memahami hal hal kecil yang kau lakukan ketika waktu meramu kita dalam kamar yang sama. Kau tak suka saat aku memanggangkan rotimu, atau menuangkan gula cair di cangkir kopimu. Aku tahu jika kau selalu senang menggunakan pensil dan membenci bolpoin bolpoin milikku untuk mengerjakan tugas-tugas kita dan kemudian akulah yang dengan senang hati menyalinkan tulisan indahmu dengan pensil itu tengah malam.

Aku menyesal Kalista, tak paham bagaimana kehidupanmu di masa lalu. Untuk mengenalmu masa kini saja aku tak mampu, sebenarnya banyak tanda tanya di benakku tentang dirimu tapi kau tahu sendiri kan aku lebih memilih bungkam. Maafkan aku Kalista, tak mampu menjadi teman sekamarmu yang mampu tahu saat kau diketuk rindu pun kenang masa lalu.

“Aku akan minta maaf ke mama papaku Ren, terima kasih kau telah menyadarkan aku.”

Kata-kata itu ia lontarkan saat sebelum mobilnya dilajukan menuju kampungnya di Batak. Aku tak mengerti mengapa ia berkata begitu, sampai akhirnya aku tahu. Dia membaca selembar puisiku yang berserakan bersama kertas kertas tugas saat akan pergi ke club malam.

Kak,
Pintu-pintu rindu di depan hatiku masih gemeretak
Mengetuk ingin mendobrak
Kak,
Aku tak mampu menghalangi apa yang datang di balik sana
Aku gugup bukan kepalang dibuatnya
Takut jika rindu yang bertamu
Khawatir jika kenang masa lalu yang menagih utangku
Hingga suatu sore hujan datang menyambangi jendelaku
Jendela di samping pintu yang masih diketuk ketuk itu
Ia mengguyurku segar
Sampai bergetar hatiku dibuatnya
Kak,
Kini aku sadar
Apapun yang mengetuk dibalik pintu itu
Aku harus mampu tenang
Karena aku masih di rumah, masih disambut pulang

Aku juga tak menyangka, jika ia mampu mencerna puisiku yang aku sendiri pun masih bingung memaknainya. Aku memang sering membubuhkan kata Kak di tiap puisiku akhir-akhir ini semenjak bersama Kalista. Kak adalah panggilanku kepada Kalista, dia tak pernah protes. Kalista sayang, maafkan aku. Aku tak mampu mengiringi kepergianmu pun tak mampu mengahantarkan kepulanganmu.

Lalu kutaburkan bunga mawar kecintaannya. Raganya mungkin telah remuk tertabrak besi besi jalanan pun akan mulai lapuk dimakan apa apa yang berada di tanah kuburan. Selamat menyambut kepulanganmu Kalista.

RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Memasang Tanda Admin di Kolom Komentar Blog

Senasib Sepenanggungan

Kelakar Trotoar