Kelakar Trotoar

Kelakar Trotoar

Dear Nesha Allea,

Nesh semalam entah mengapa kamu hadir lagi dalam lamunanku, entah tak ku ingat seberapa pekat malam itu. Bisa jadi sepekat coklat hangat yang biasa kau seduh, bisa jadi lebih Nesh. Sebab aku tak sedikitpun mendengar suara gaduh (kecuali, dipikiranku). Mungkin aku terlalu lama membolak-balik laman jejaring sosialmu saat itu. Nesh, apa kabarmu? Tanpa ku sadari hari ini tepat hari ke tujuh puluh satu sejak kau tak muncul dalam janji yang kau buat sendiri. Maafkan aku Nesh, mungkin aku serupa benalu di hidupmu. Aku terlalu menganggumu. Kau marah dengan ku? Tak apalah Nesh mungkin aku harus terbiasa menjadi pecundang yang hadirnya tak pernah kau harapkan.

Kau ingat Nesh saat itu kau masih berusia lima belas tahun tepat di tanggal satu, sedangkan usiaku tepat tujuh bulan mendahuluimu. Kau senang sekali ketika aku menghadiahkanmu sebuah penanda kunci, ya seingatku kau terlalu mudah meletakan sesuatu lalu melupakannya (ya, termasuk aku contohnya). Maka dari itu ku beri kau hadiah yang sederhana. Kau masih menyimpannya? Atau justru kecerobohanmu menghilangkannya pada hari pertama? Tenanglah Nesh seberapapun kau lupa atau bahkan tak menyimpannya aku takan pernah sempat marah.
   
Nesh hari ini entah kenapa aku mengenangmu sebagai kesalahanku yang terdalam yang pernah ku tertawai. Aku ingat betapa dulu kau bersih keras menahanku pergih jauh. Tapi aku justru tak mau perduli sedikitpun perkataanmu. Ku pikir cinta masalah tahta dan rupiah saat itu. Jadilah aku ke ibu kota mencari sesuatu yang dapat ku ceritakan jika pulang dari kota. Disini Nesh, bahkan udara malam menjadi terlalu memusuhiku. Mencari makan sama dengan mencari lawan. Tertatih aku bertahunan untuk sekedar memberi kabar kepadamu. Aku tak ingin kau merasa aku terlalu kecil untuk menantang ibukota, aku bisa Nesh aku bisa demi sesuatu yang ku harap menjadi masa depan kita bersama.

Harapku jika bekalku cukup untuk sewa satu tenda semalaman dan membeli satu ekor kambing untuk para undangan aku akan pulang Nesh. Aku akan tunaikan segala janji yang pernah kita bawa sampai mimpi. Kau masih ingatkan semua detail pesta pernikahan yang kau inginkan? Tenang dalam peluh keringatku telah ku cicil itu semua satu persatu. Lengkap, sama persis yang kamu mau. Mungkin setelah itu aku akan membawamu turut ke ibukota. Bukan untuk mengajakmu hidup susah Nesh, kau tenang saja. Tidak perlu menggerutu secepat itu. Aku akan membawamu berlibur ditempat yang orang-orang tuju untuk menghabiskan hari Sabtu dan Minggu. Kau mau? sabarlah aku akan segera mewujudkannya.

Aku ingat hari ini Nesh, ini minggu kedua di bulan April. Entah kenapa trotoar ibukota sudah kencang sekali mengusirku pergih atau lampu-lampu jalanan yang mulai terang-terangan tak mengharapkanku tetap disini. Aku pulang Nesh, dengan rindu segunung yang susah ku kemas dengan sempurna. Aku pulang berharap sua menghangatkan lagi cinta setelah pisah. Tapi tunggu Nesh, ada sesuatu yang sepertinya tak ku ketahui darimu. Tapi.. entah apa itu. Emm, soal cincin dijari manismu yang tak sengaja ku lihat tadi pagi ketika bersua dengan senyummu di depan pendopo desa. Itu pasti hadiah ulang tahun dari orangtuamu kan? Maaf kala itu aku tak sempat mengirimkan mu sesuatu, bahkan mengirim ucapanpun menjadi hal yang sulit untukku.

Tapi tunggu Nesh, mengapa kau tak mau berbicara denganku? Apakah kau semarah itu denganku. Kenapa Nesh kau bisu? Nesh, katakan bahwa omongan mereka hanya bualan. Mereka sedang berkelakar seperti layaknya trotoar kan? Coba jelaskan Nesh, kau sedang tak terserang wabah tuli bisu kan? (Aku tau). Nesh, apa salahku? Toh selama ini yang ku perjuangkan segalanya atas namamu. Mengapa semudah itu kau menendangku dalam singgah sana hatimu. Mengapa kau menikah dengannya, justru disaat aku sedang menawar nyawa di ibukota. Mengapa Nesh? Sebercanda itukah pengorbanan ku untukmu.

Tak apalah jika ternyata kau lebih bahagia dengan bajingan yang asap rokoknya kerap membuatmu tercekik asma. Tak apa.. aku tak marah. Mungkin sepertinya kepergian ku terlalu banyak menyisakan dendam dibenakmu. Aku tak bercerita Nesh tentang kabarku, bukan berarti aku telah lupa dengan mu dan sibuk dengan hiruk pikuk kotaku. Tapi aku tak ingin kau sedih, tak ingin kau mengasihaniku seperti anak-anak yang merindukan makan. Tidak Nesh... tapi tak apalah. Toh kamu telah memilih saat ini. Mungkin baiknya ku pergi Nesh, ku kemasi segalanya yang ku miliki. Tapi maaf Nesh, aku tak akan membawa pergih harapan kita berdua lagi. Mungkin kini aku akan pergi sendiri. Ya, benar-benar seorang diri dalam tiap tapakan kaki.

INTAN IRA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
WEBSITE/BLOG: http://aksaraira.blogspot.co.id/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Memasang Tanda Admin di Kolom Komentar Blog

Senasib Sepenanggungan