Coffee Shop

Coffee Shop

I.
Disini pengap sekali, penuh asap. Kopi dengan rokok seperti harnomi. Keduanya menari seakan tak takut pagi. Keduanya berkelar, bertengkar, menyakar seakan adu kuat siapa yang paling kekar. Mengadu kepada setiap pecandu bahwa tiada yang paling nikmat kecuali pelukan hangat.

II.
Bangku coklat, tepat menadah di bawah tenda yang basah. Berbinar, seolah meminta siapapun untuk sudi bersandar. Dulu, dia duduk disitu. Tepat dua hari sebelum usiaku genap duapuluh. Dia, mencuri perhatian. Dia datang untuk mencari hangat, dan berlalu dalam seduhan pekat. Hilang tanpa jejak, menjauh dalam beberapa jarak.

III.
"Jani.. pelipur lara dikala duka, mentari tertawa semua baik-baik saja. Ini lirik tentang mantra, sihir kuat penghapus lara. Tersenyumlah, bahagia. Esok cerah dan semua akan berbeda.." -lagu berputar diradio-

IV.
Orderan hari ini, caramel macchiato. Tak terlalu pahit dan agak terlalu manis untuk seseorang yang baru selesai menangis. Dihidangkan dalam gelas berwarna biru seperti darah yang siap membeku. Ding, aku salah ada penghias gelas ditepiannya. Warnanya orange, persis secerah elegi sore hari. Haaaaa, sepertinya lahir bahagia setelah ini. Lihatlah barista menghiburmu dengan guratan gambar hati di atas kopi.

V.
Vas bunga lavender, tepat simentris dengan arah pengunjung datang dan pergi untuk menyapa kopi. Aku melihat lurus kearah pintu, satu jam berlalu. Dan bangku itu, tetap saja begitu. Hilang pesona karna tiada pemiliknya. Aku lihat ke arah jam sepuluh, mungkin dia sudah menemukan bangku baru. Lebih nyaman dari pada peluk bangku nomor tujuh, tempat aku menatap disela cangkir yang enggan menyingkir.

VI.
Hujan menimpuki seluruh dinding kaca. Aku melihat wanita duduk gelisah, membenahi rambut yang sedikit basah. Sejam yang lalu ia memesan kopi, diseruput sedikit demi sedikit agar asapnya pergi sendiri. Tak lama dia yang di nanti datang, seakan berjalan lancang memamerkan rokok yang selalu dia pegang. Dia jatuh cinta pada lelaki itu, aku tau.

VII.
Panas kopi tak selalu abadi, pahitnya pun bisa saja kita atur sendiri. Tapi mencintai tak semudah menyeruput kopi dikala baru tersaji. Tak sesabar menanti bangku dingin siap terisi. Jatuh cinta tak pernah membiarkan kita bebas memilih. Dia cinta pada penjenguk kopi yang ramah. Sayang kopi tak selalu membuat kita mudah untuk menyadari banyak cinta. Cinta ada disekeliling kita.

VIII.
Ding.. dong.. ding.. dong.. suara jam tepat pukul duabelas malam. Dua orang itu masih saja berbicara. Pada kopi telah berubah menjadi ampas dan dingin malam siap menghempas. Wanita menghela napas, pria berbicara tegas. Aku pergi, kata si pria tanpa basa-basi. Wanita itu diam saja. Teman berbagi kopi bukan berarti orang yang kau cintai. Pria itu tidak tau, bahwa wanita itu diam-diam mencintainya. Diam-diam saja. Biar pria itu tidak menyadarinya.

IX.
Wanita itu tetap disana, setia pada pagi yang siap menjamah dengan ramah. Melingkari jari pada sisi cangkir yang rindu terisi. Dia memaki, pada dirinya sendiri. Sebab dia menjatuhkan pilihan pada ketidakmungkinan. Mencintai pada lelaki yang menganggap dirinya bagian lain dari asap kopi. Tak dianggap, namun diusahakan agar tidak terlalu cepat lenyap.

X.
Terkadang. Jatuh cinta bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja. Ramah adalah rumah bagi jatuh cinta. Kadang kamu ingin selalu bersama dengan orang yang kamu sedang harapkan. Menghabiskan cerita hingga tuntas ke remahannya. Tetapi jika jatuh cinta membuatmu kehilangan arti dari memiliki itu sendiri, lupakan. Harganya tak pantas untuk kau bayar. Cinta adalah ihlas dalam arti yang benar. Mencintai dalam cerita yang selalu kita dengar, mencintai dalam diam yang mati-matian tersamar. Aku mencintaimu, kurasa kamu tau. Tapi setelahnya aku tak minat untuk terikat. Karna dalam cangkir kopi kita, aku rasa kita sudah saling berbalas cinta disana.

Maaf, untuk cinta yang tidak semestinya..

INTAN IRA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
WEBSITE/BLOG: http://aksaraira.blogspot.co.id/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Memasang Tanda Admin di Kolom Komentar Blog

Senasib Sepenanggungan

Kelakar Trotoar